Oleh Prof Nanat Fatah Natsir
Alkisah, Jablah bin Aiham, raja dari Kerajaan Gassanah melakukan perjalanan ke Madinah. Menurut para sejarawan, ia datang bersama rombongan ke kota suci kedua bagi umat Islam itu untuk masuk Islam. Begitu sampai di Madinah, rombongan itu diterima dengan penuh suka cita oleh Khalifah Umar bin Khathab.
Saat musim haji tiba, Jablah menunaikan haji bersama Umar. Saat ber-tawaf, sarung raja Gassanah itu terinjak hingga terlepas. Jablah pun murka dan memukul lelaki yang menginjak sarungnya hingga berdarah. Pria yang berasal dari suku Fuzarah itu mengadu kepada Umar.
"Mengapa kamu memukul lelaki ini?" tanya Umar. "Dia telah menginjak sarungku hingga terlepas," jawab Jablah. Umar berkata, "Bukankah kamu telah menyatakan masuk Islam? Sebagai balasannya, kamu harus berusaha membuatnya rela atau dia melakukan tindakan seperti tindakan yang telah kamu lakukan terhadapnya."
Dengan penuh kesombongan, Jablah berkat, "Apakah hal ini pantas aku lakukan! Aku adalah raja, sedangkan dia adalah rakyat jelata." Umar dengan tegas berseru, "Islam memandang sama antara dirimu (raja) dan dirinya (rakyat jelata). Tidak ada hal yang membuatmu memiliki derajat lebih tinggi daripada dia, selain amal kebaikan."
"Demi Allah, aku masuk Islam dan berharap dapat menjadi lebih mulia daripada masa jahiliah." Umar berkata, "Kamu akan seperti itu." Jablah berkata, "Tangguhkanlah aku sampai besok agar aku dapat berpikir tentang hal ini, wahai Amirul Mukminin." Umar berkata, "Silakan."
Namun pada malam hari, Jablah dan rombongannya malah melarikan diri hingga sampai di Konstantinopel dan bertemu dengan Heraklius. Ia tak mau bersikap tawadhu dan memilih keluar dari ajaran Islam yang mengajarkan persamaan derajat.
Kisah yang tercantum dalam Sirah Umar bin al-Khaththab karya Ahmad at-Taji itu mengandung pesan bahwa Islam mengajarkan sikap tawadhu seperti dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Tawadhu adalah sikap tunduk kepada Allah dan rendah hati serta sayang terhadap hamba-Nya. Insan yang tawadhu adalah hamba-hamba Allah yang yang berjalan di bumi dengan rendah hati. (QS Al-Furqan [25]:63). Orang yang tawadhu adalah mereka yang tak pernah sombong dan bersikap angkuh serta tak pernah menyombongkan diri.
Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri." (QS asy-Syu'ara [31]:18). Sesunguhnya, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. (QS Al-Hujurat [49]:13).
Mudah-mudahan bangsa ini dapat mengembangkan budaya tawadhu, antara pejabat dan rakyat, rakyat dengan rakyat, sehingga tumbuh menjadi bangsa kuat yang ditopang oleh budaya kebersamaan dan saling menghormati.
Kamis, 20 Januari 2011
Tawadhu
Senin, 10 Januari 2011
Kamis, 06 Januari 2011
Bercanda Ada Aturan Mainnya
Oleh Imam Nur Suharno_____________________
Bercanda merupakan bagian dari kehidupan umat manusia. Tanpa canda, hidup terasa hampa dan monoton. Untuk itu, Islam memperbolehkan umatnya bercanda, asal tidak berlebihan. Rasulullah SAW pun pernah bercanda.
Dari Hasan RA, dia berkata, ada seorang perempuan tua yang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah supaya memasukkanku ke dalam surga."
Rasulullah SAW menjawab, "Wahai Ummu fulan, sesungguhnya surga itu tidak dimasuki oleh orang yang sudah tua renta." Perempuan itu pun berpaling sambil menangis. Lalu, Rasulullah SAW bersabda, "Beri tahu dia kalau dia tidak akan masuk surga dalam keadaan sudah tua renta.
Sebab, Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta, lagi sebaya umurnya." (QS Al-Waqiah [56]: 35-37). (HR Tirmidzi).
Islam telah memberikan tuntunan dalam bercanda agar canda yang dilakukan itu tidak berbalik menjadi dosa. Pertama, tidak berlebihan. Sebab, canda yang berle bihan akan menjatuhkan kehormatan dalam pandangan manusia. Kehormatan harga diri di dalam Islam sama dengan kehormatan darah dan harta.
Kesadaran orang untuk tidak mencuri harta atau mencelakai orang lain, belumlah cukup tanpa adanya kesadaran untuk menjaga kehormatan orang. Sabda Nabi SAW, "Setiap Muslim dengan Muslim lain diharamkan darah, harta, dan harga dirinya." (HR Muslim).
Kedua, bukan cacian dan cemoohan. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolokolok)." (QS Al-Hujurat [49] :11).
Ketiga, tidak menjadikan canda sebagai kebiasaan. Kesungguhan dan serius adalah karakter pribadi Muslim, sedang kelakar hanya sekadar jeda, rehat dari kepenatan.
Keempat, isi canda bukan dusta dan tidak dibuat-buat. Sabda Nabi SAW, "Celakalah orang yang berbicara lalu mengarang cerita dusta agar orang lain tertawa, celakalah!" (HR Abu Dawud).
Kelima, tidak menjadikan aspek agama sebagai materi canda. Allah SWT menegaskan, "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolokolok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orangorang yang selalu berbuat dosa." (QS At-Taubah [9]: 65-66). Wallahu a'lam.